Wednesday, April 28, 2010

jembatan penyeberangan depan alun-alun kota kediri

Siapa yang tidak mengenal jembatan penyeberangan orang (JPO). Sarana jalan ini seringkali ditelantarkan oleh orang / pengguna jalan. Jembatan penyeberangan sebagai alat penyeberangan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam menyeberang karena akhir-akhir ini banyak sekali kecelakaan yang diakibatkan oleh penyeberang jalan yang menyeberang jalan seenaknya, sehingga membuat jalan menjadi macet dan lalu lintas menjadi tidak teratur. Banyak polemic yang muncul tentang manfaat jembatan penyeberangan yang ada didepan alun-alun kota Kediri. Salah satunya jembatan penyeberangan itu seakan-akan belum atau tidak dibutuhkan oleh pengguna jalan khususnya pejalan kaki.

Jembatan penyeberangan sepertinya kini telah beralih fungsi menjadi tempat nongkrong anak-anak muda, tempat orang berpacaran serta terkadang menjadi tempat tidur para gelandangan. Ada beberapa orang yang menduga bahwasanya jembatan penyeberang itu hanya untuk memenuhi kebutuhan para pengusahan untuk memasang baliho iklan. Sedangkan pada dasarnya jembatan penyeberangan digunakan untuk membantu kelancaran jalan, mengurangi kemacetan yang terjadi Karena penyeberang jalan yang seenaknya sendiri untuk menyeberang.
Beberapa orang menyebutkan alasan kenapa mereka malas memanfaatkan jembatan penyeberangan. Salah satunya malas untuk naik dan capek ketika harus memutar dulu. Padahal demi kebaikan mereka jalan memutar lebih bijak dibandingkan dengan nyelonong menyeberang dengan seenaknya saja dan dapat menggangu kenyamanan pengguna jalan raya. Setidaknya ada 2 kali kecelakaan yang diakibatkan tidak menggunakan jembatan penyeberangan orang ini selama tahun 2009.
Pemerintah sebaiknya segera mensosialisasikan kegunaan jembatan penyeberangan serta juga meningkatkan kenyamanan agar para pejalan kaki mau menyeberang diatas jembatan penyeberangan tanpa rasa takut dan rasa lelah.

perbedaan media online dengan media konvensional

media online

Sifatnya yang relatif bebas
Bebas Kepemilikan
Bebas sekat social
Bebas interfensi
Bebas jarak, ruang & waktu
Anonim
adalah suatu sifat yang merujuk pada ketidakjelasan/ketidakpastian identitas seserang/suatu pihak.
Aksesibilitas Tinggi

surat kabar
Market coverage tinggi.
Mampu sampai ke pelosok daerah serta mempunyai distribusi yang fleksibel.
Harga relatif murah,
sehingga mampu dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat
Comparison Shopping
Kebiasaan audience sebelum belanja selalu memperhatikan koran sebagai referensi
Karakter yang kuat,
karena memiliki berita-berita yang aktual sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat yang semakin dewasa
Mempunyai target pasar sendiri sesuai dengan khalayak pembacanya.
Dapat dibeli tanpa harus menjadi pelanggan/eceran.
Ada ruang beriklan/space yang khusus buat produk
Fleksibel ketika menjadi bagian dari iklan produk
Clutter.
Tidak beraturan ketika produk dan berita bersanding.
Short life span.
Koran dibaca dalam waktu yang singkat dan cepat. Koran hari minggu biasanya lebih berat daripada hari lainnya, karena tingkat membaca lebih cepat daripada hari biasanya.
Limited coverage of certain groups.
Meski sirkulasi luas namun tetap saja kelompok pasar tertentu tidak bisa terlayani dengan baik.
Kualitas cetak buruk.
Berpengaruh pada iklan produk yang dibuat.

Radio

Pengganti televisi
( tidak bisa lihat televisi)
Murah
(biaya produksi dan placement)
Ketajaman Penetrasi
( sinyal kuat pendengar dari jarak jauh)
Waktu Transmisi tak terbatas
( mengudara 24 jam)
Imajinatif
( suara/vocal, musikal)
Tidak memerlukan perhatian terfokus
Bersifat Mobile
Local Area service
( menjangkau daerah tertentu tergantung radionya)
Bersifat terbagi
( pengiklan tumpang tindih menjangkau pasar)
Lack of pictures
(pengiklan tidak bisa demonstrasikan produknya)

Televise

Efisiensi Biaya
Televisi media yang paling efektif
Dampak yang Kuat
Keunggulan kemampuan dilihat dan didengar (audio/visual)
Pengaruh yang Kuat
Televisi sbg media yang paling kuat di rumah selesai dari kesibukan dan kepenatan meluangkan waktu.
Biaya yang Besar
Biaya besar mulai pre-produksi sampai produksi .
Khalayak Tidak Selektif
Segmentasinya tidak setajam radio atau media cetak.
Kesulitan Teknis
Iklan –iklan tidak bisa luwes dipindah jam tayang karena kepadatan program acara televisi.

Monday, April 26, 2010

perbedaan media massa

MEDIA SUARA ( radio)

kelebihan
radio terdapat dimana mana
maksud nya adalah radio dapat diakses sampai pelosok desa. Dan menurut penelitian radio terdapat hampir disemua toko, tempat umum, rumah, kantor dan sebagainya.

Biaya produksi radio cenderung lebih murah
tidak terlalu membutuhkan biaya layaknya televisi atau yang lain

radio merupakan sarana penyebaran berita paling cepat
karena hanya melalui media frekuensi maka proses pengiriman pesan tergolong cepat dan langsung bisa dilakukan ditempat kejadian atau lokasi.

Buta huruf dan tuna netra bukan halangan menikmati radio
karena hanya berbentuk audio maka mata dan buta huruf tidak akan menghalangi seseorang untuk menikmati radio

radio adalah teather of mind
hanya dengan suara saja radio mampu menciptakan teather of mind, mampu menciptakan imajinasi yang terkadang membuat orang sedikit penasaran dan bermain-main dengan imajinasinya.

Kekurangan



bunyi
karena hanya berupa suara maka bunyi sangat berpengaruh. Terlebih jika penikmatnya tuna rungu, maka dapat dikatakan matinya radio ada pada orang yang tuna rungu.

Atmosfir
letak geografis dan cuaca menentukan baik buruknya signal frekuensi

tidak bisa bersaing dengan koran dan majalah dalam jumlah berita / informasi
radio merupakan program yang linear yang tidak ada pengulangan dalam penyajian berita.
Sehingga sangat dibatasi jumlah penyampaian informasinya karena durasi yang terbatas


TULISAN (KORAN, MAJALAH, dsb)

kelebihan
sarana promosi yang paling baik
setiap halaman dikoran dan majalah memiliki nilai yang berbeda. halaman yang paling strategis adalah halaman paling depan dan paling belakang

Koran praktis
koran dan majalah dapat dinikmati dimana saja dengan bersantai dan tidak perlu tergesa-gesa seperti mendengarkan berita di radio dan televisi

ekonomis
harga koran juga tidak terlalu mahal dan dapat dijangkau oleh tukang becak sekalipun


kekurangan
monoton
menjenuhkan jika tidak dilengkapi oleh gambar atau grafis yang lain.

Membutuhkan konsentrasi penuh
membaca membutuhkan konsentrasi penuh sehingga tidak dapat ditinggal untuk mengerjakan aktifitas lain.


GAMBAR (FOTO)

kelebihan
artistik
dapat disajikan dengan sentuhan seni yang merupakan nilai lebih dibandingkan media lainnya

mampu menceritakan peristiwa
mampu menjabarkan peristiwa yang tidak bisa dilukiskan oleh media tulisan

kekurangan
sulit dipahami
membutuhkan keahlian lebih untuk sekedar mengartikan makna sebuah foto. Akan lebih baik jika dilengkapi dengan tulisan.


VIDEO
realistik
mampu menyajikan dalam bentuk audio visual yang seolah olah benar-benar terjadi

jangkauan luas
hampir seluruh wilayah indonesia mampu menangkap siaran televisi

mudah dinikmati
televisi memiliki kesan sangat menghibur dan dapat dinikmati dengan suasana santai

Cepat
tergolong cepat menyampaikan informasi apalagi seiring perkembangan jaman dengan adanya satelit yang mempercepat arus komunikasi

kekurangan
Jangkauan pemirsa massal
sulit untuk membidik pasar karena televisi dapat dinikmati oleh semua orang.

Iklan relatif singkat
durasi sangat berperan sehingga informasi mengenai iklan sangat terbatas

mahal
biaya produksi sangat mahal mengingat banyaknya peralatan dan kebutuhan proses produksi yang lebih dibandingkan radio

ONLINE

personal
individu dapat dengan bebas mengakses media online tanpa adanya gangguan dari orang lain.

Mudah dan aplikatif
mudah digunakan dan setiap individu dapat menjadi komunikator asal bisa membuat semacam blog ataupun website sendiri.

Lebih cepat
mampu mnyampaikan informasi yang lebih cepat dari televisi dan radio ataupun yang lainnya serta up to date

murah
hanya membutuhkan biaya untuk pengganti jasa layanan internet

menarik
dilengkapi dengan desain menarik yang mampu memikat penggemarnya.

kekurangan
membutuhkan jasa layanan internet
pada dasarnya online membutuhkan jaringan internet untuk dapat saling bertukar informasi

membutuhkan keahlian khusus
sumber daya manusia berperan dalam penggunaan media online



Sunday, April 11, 2010

Gus Dur dan Media Islam Oleh Alamsyah M. Dja’far

Sebagai orang yang “dibesarkan” media, kebebasan pers bagi mantan aktivis Prodem ini setarikan nafas dengan perjuangannya menegakkan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan media, betapapun lemahnya kualitas media yang ada. Dalam tradisi ushul fikih (teori hukum Islam) dikenal kaidah, li al-wasail hukm al-maqashid (hukum perantara mengikuti hukum tujuan). Jika demokrasi sebuah kewajiban, maka penciptaan media yang bebas juga sebuah keharusan.

Di tengah-tengah gelombang “tsunami” berita meninggal dan beragam kisah tentang Gus Dur, saya bertanya-tanya sebegitu homogenkah media massa nasional? Mengapa media lebih menyajikan “berita baik” tentang Gus Dur? Tak seperti pandangan semasa hidupnya sebagai sosok paling kontroversial.

Sangat banyak orang mengatakan, kenyataan itu bukti akan penghormatan masyarakat, dalam dan luar negeri, atas konsistensi perjuangan Gus Dur selama ini. Bisa pula dilihat, jangan-jangan itu cerminan etika ketimuran terhadap orang yang tengah berkabung.



Keberbedaan itu sedikit banyak saya jumpai dalam pemberitaan “media massa Islamis”. Media jenis ini adalah semua media berbasis pembaca muslim yang menempatkan Islam sebagai ideologi yang tak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik, tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern.

Media massa Islamis menurut saya jauh lebih “berani” menampilkan hal-hal yang dianggapnya sebagai sisi berbeda Gus Dur. Sebuah harian nasional berbasis pembaca muslim misalnya menurunkan cover story bertajuk “Berpulang”. Meski berusaha memposisikan diri ikut mengapresiasi, sebagaimana garis ideologi pemberitaannya sejauh ini, media tersebut justru tampak seperti sedang melancarkan kritik tajamnya terhadap Gus Dur. “Dia memang kontroversial, tetapi sejujurnya, bahkan mereka yang sukar mencintainya pun selalu bisa menyesap hikmah dari kiprahnya” tulis media itu diplomatis.

Sejumlah lakon kontroversi Gus Dur pun disebut satu-satu. Mulai langkah Gus Dur menggadang LB Moerdani sebagai calon wakil presiden pada 1988 hingga pemecatan ketua umum PKB. Maka Gus Dur pun menurut media ini mirip tokoh utama yang digambarkan dalam Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde, novel karya Robert Louis Stevenson yang ditulis di akhir abad ke-19. Dalam teori pembingkaian, cara ini adalah tekhnik “pemampatan simbol” (condensing symbol) dengan analogi metaporis. Novel itu sesungguhnya lebih banyak diketahui kisah tentang tokoh yang memiliki, mohon maaf, “kelainan jiwa” dengan dua karakter yang bersebarangan.

Sebuah media Islam online yang tak mencantumkan alamat redaksinya memuat komentar Abu Bakar Baasyir. “Mr Dur ini murtad karena dia telah mengatakan semua agama sama,” katanya. Pernyataan ABB ini diletakkan dalam konteks menyajikan opini berbeda dari pemberitaan media massa yang menurut media online itu lebih banyak memberitakan perihal pendukung, kewalian, dan kepluralismean Gus Dur.

Sebuah media Islamis lainnya tampak mengarahkan angle-nya pada isu perilaku pengikut Gus Dur yang mengarah kemusyrikan seperti perilaku peziarah yang mengambil tanah dan bunga atau menangis di hadapan kuburan mantan Ketua Umum PBNU tiga periode itu.

Seperti diketahui, ketaksetujuan media massa Islam terhadap sepak terjang Gus Dur tak hanya muncul sekarang. Situasinya berlangsung “laten”. Puncaknya terjadi ketika Gus Dur jadi presiden. Ia dinilai lebih pro non-muslim, ketimbang muslim. Beragam label negatif pun disematkan. Gus Dur jalan terus.

Sebagai orang yang “dibesarkan” media, kebebasan pers bagi mantan aktivis Prodem ini setarikan nafas dengan perjuangannya menegakkan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan media, betapapun lemahnya kualitas media yang ada. Dalam tradisi ushul fikih (teori hukum Islam) dikenal kaidah, li al-wasail hukm al-maqashid (hukum perantara mengikuti hukum tujuan). Jika demokrasi sebuah kewajiban, maka penciptaan media yang bebas juga sebuah keharusan.

Itulah mengapa Gus Dur membela tabloid Monitor dari kemarahan umat Islam lantaran menempatkan Nabi Muhammad diurutan ke- 11 tokoh paling dikagumi. Nomor satu dipegang Soeharto, dua dipegang BJ Habibie. Peristiwanya terjadi tahun 1990. Pembredelan Monitor 23 Oktober 1990 oleh Orde Baru setelah keributan umat dianggap Gus Dur sebagai “fit and proper test” Orde Baru membredel media lain yang akan membahayakan kekuasaan.

Dalam catatan Wahyu Muryadi, mantan Staf Khusus Bagian Protokoler Istana Negara, misalnya, di masa kepresiden yang hanya 21 bulan (1999-2001) Gus Dur membuka akses seluas mungkin untuk para jurnalis yang ngepos di Istana Negara. Jumlahnya melonjak hingga delapan kali lipat dari sebelumnya. Dari 100 menjadi 800 orang.

Keakrabannya dengan media tentu bukan hanya saat itu. Sejak awal karir intelektualnya di era 70-an, Gus Dur sudah sangat akrab dengan media, khususnya cetak. Tulisan obituari yang “intim” dari Arswendo Atmowiloto (Suara Pembaruan, 13 Desember 2009) cukup menggambarkan keakraban ini. Selain sebagai penulis dengan minat yang amat luas (komentar film, pertandingan sepak bola, atau soal politik), Gus Dur adalah sumber penting yang ditunggu-tunggu jawabannya oleh para wartawan saat ia tengah mengetik di gedung Kompas saat itu. Tentang apa saja!

Maka dalam perjalanan hidup Gus Dur selanjutnya, ia bukan hanya menjadi narasumber penting media massa, tapi justru memerankan media massa itu sendiri. Jika UU NO 40 Tahun 1999 tentang pers menyebut fungsi media nasional sebagai pemberi informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, Gus Dur memerankannya sekaligus: memberi informasi yang tak banyak diketahui atau “tabu” dikatakan orang, mengajak orang berpikir, kritis, sekaligus tokoh yang amat jenaka.

Meski begitu Gus Dur juga orang yang sangat kritis terhadap media. Di ujung kekuasaan kepresidennya, ia pernah mengkritik dan kecewa terhadap media massa yang tak lagi berimbang. Hasil Jajak pendapat yang dilakukan Pantau di Jakarta pada 1-6 April kepada 458 responden menyebut, 56,7 % televisi tak memberitakan sisi positif dan negatif tentang sosok Gus Dur secara proporsional; 45, 2 % juga tak memberitakan secara proporsional Keberhasilan dan kegagalan pemerintahannya. Belakangan diketahui media massa saat itu ikut pula “menjatuhkan” Gus Dur.

Kritik terhadap salah satu media Islam konon juga dilakukan Gus Dur dengan cara emoh diwawancari. Media itu dinilai selalu memelintir pernyataannya.

Gus Dur meyakini kritik maupun respon terhadap media yang dinilai kurang berkualitas tak bisa dijawab dengan menghadirkan intervensi negara, apalagi kekerasan. Biarlah kebebasan pers diurus warga negara dengan public reasoning yang alamiah; keragaman tak perlu diseragamkan. Pada titik inilah kebebasan dan keberbedaan pemberitaan media massa Islamis tentang sosok Gus Dur dipahami. []